TARBIYAH

TARBIYAH

Jumat, 17 Desember 2010

kebudayaan

SALAH SATU KEBUDAYAAN BANGKA BELITUNG

PERANG KETUPAT

Perang ketupat adalah acara adat di Bangka Belitung, tepatnya di pulau Bangka. Acara ini diselenggarakan setiap masuk Tahun Baru Islam (1 Muharam) di Pantai Tempilang, Kabupaten Bangka Barat. Pada saat acara ini berlangsung, penduduk sekitar pantai Tempilang yang menyelenggarakan acara ini akan membuka pintu rumah sebesar-besarnya untuk menyambut tamu-tamu yang berkunjung ke desa mereka. Perang ketupat adalah acara inti dari semua prosesi dari acara hari itu. Orang-orang berkumpul di Pantai Tempilang, kemudian pada saat Meriam dinyalakan bertanda acara dimulai. Orang-orang saling melempar ketupat ke setiap orang yang mereka temui. Acara ini cukup digemari oleh kaum muda di daerah Bangka. Banyak pemuda yang sengaja datang dari jauh, atau malah pulang dari perantauan untuk menghadiri acara ini.

Serba Serbi Perang Ketupat


Tujuannya untuk memberi makan makhluk halus yang dipercaya menghuni daratan. Menurut para dukun, makhluk-makhluk halus tersebut baik. Mereka dipercaya menjadi penjaga desa dari roh-roh jahat. Itulah sebabnya mereka harus diberi makan agar tetap bersikap baik terhadap warga desa.

Upacara adat ini pertama sekali dilakukan pada zaman urang lom, yaitu suatu zaman dimana masyarakatnya belum mengenal baca tulis dan agama. Pada zaman ini masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Oleh karena itu ritual upacara adat ini sangat sarat dengan kepercayaan masyarakat pada waktu itu.

Gendang panjang, gendang Tempilang
Gendang disambit, kulet belulang
Tari kamei, tari Serimbang,
Tari kek nyambut, tamu yang dating



Lagu Timang Burong (Menimang Burung) pengiring tari serimbang itu dilantunkan secara lembut. Lagu itu, diiringi suara gendang dari enam penabuh serta alunan dawai (alat musik), untuk mengiringi gerak lima penari remaja yang menyambut tamu. Dengan baju dan selendang merah, kelima penari menyita perhatian ribuan pengunjung yang memadati Pantai Pasir Kuning, Tempilang, Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Tarian yang menggambarkan kegembiraan sekumpulan burung siang menyambut kehadiran seekor burung malam itu merupakan pembukaan dari rangkaian tradisi perang ketupat, khas Kecamatan Tempilang di Bangka Belitung. Tradisi tersebut menggambarkan perang terhadap makhluk-makhluk halus yang jahat, yang sering mengganggu kehidupan masyarakat.

Tradisi itu sebenarnya sudah dimulai pada malam sebelum perang ketupat dimulai. Pada malam hari sebelumnya, tiga dukun Kecamatan Tempilang, yaitu dukun darat, dukun laut, dan dukun yang paling senior, memulai upacara Penimbongan.

Dukun Darat dan Dukun Laut
Pada pembukaan Perang Ketupat, dukun darat dan dukun laut bersatu. Mereka mengucapkan mantra ke 40 ketupat yang ada di hadapannya. Kedua dukun juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar perayaan tersebut dilindungi. Jauh dari bencana.

Dukun laut & darat mendoakan amunisi ketupat. Foto: visitbangkabelitung.com

Menurut kepercayaan rakyat setempat, ketika tengah berdoa, dukun darat berkomunikasi dengan para leluhur. Usai berdoa, dukun darat biasanya menyampaikan pesan atau pantangan bagi warga.

Secara bergantian, dukun itu memanggil roh-roh di Gunung Panden, yaitu Akek Sekerincing, Besi Akek Simpai, Akek Bejanggut Kawat, Datuk Segenter Alam, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, serta makhluk halus yang bermukim di Gunung Mares, yaitu Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin.
Menurut para dukun, makhluk-makhluk halus itu bertabiat baik dan menjadi penjaga Desa Tempilang dari serangan roh-roh jahat. Karena itu, mereka harus diberi makan agar tetap bersikap baik terhadap warga desa.

Pada upacara Penimbongan itu digelar tari campak, tari serimbang, tari kedidi, dan tari seramo. Tari campak dilakukan dalam beberapa tahap dengan iringan pantun yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan. Tari ini juga biasa digelar dalam pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya.

Tari kedidi lebih mirip dengan peragaan jurus-jurus silat yang diilhami gerakan lincah burung kedidi, sedangkan tari seramo merupakan tari penutup yang menggambarkan pertempuran habis-habisan antara kebenaran melawan kejahatan.

Seusai upacara Penimbongan, para dukun itu kembali mengadakan upacara Ngancak, yakni pada tengah malamnya. Upacara Ngancak dimaksudkan memberi makan kepada makhluk halus penunggu laut.

Diterangi empat batang lilin, dukun laut membuka acara itu dengan membaca mantra-mantra pemanggil makhluk halus penunggu laut, di antara bebatuan tepi Pantai Pasir Kuning, Tempilang. Nama-nama makhluk halus itu diyakini tidak boleh diberitahukan kepada masyarakat agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

Seperti pada upacara Penimbongan, upacara Ngancak juga dilengkapi sesaji bagi makhluk halus penunggu laut. Sesaji itu dipercaya merupakan makanan kesukaan siluman buaya, yaitu buk pulot atau nasi ketan, telur rebus, dan pisang rejang.

Pagi harinya, seusai tari serimbang digelar, dukun darat dan dukun laut bersatu merapal mantra di depan wadah yang berisi 40 ketupat. Mereka juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar perayaan tersebut dilindungi, jauh dari bencana.

Di tengah membaca mantra, dukun darat tiba-tiba tak sadarkan diri (trance) dan terjatuh. Dukun laut menolongnya dengan membaca beberapa mantra, dan akhirnya dukun darat pun sadar dalam hitungan detik.

Menurut beberapa orang tua di tempat tersebut, ketika itu dukun darat sedang berhubungan dengan arwah para leluhur. Kenyataannya, setelah siuman, dukun darat menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan (pantangan) warga selama tiga hari, antara lain melaut, bertengkar, menjuntai kaki dari sampan ke laut, menjemur pakaian di pagar, dan mencuci kelambu serta cincin di sungai atau laut.

Aturan Perang

Setelah ritual doa selesai, kedua dukun menata ketupat di atas sehelai tikar pandan. Sepuluh ketupat menghadap ke sisi darat dan sepuluh lainnya ke sisi laut.

Kemudian, 20 pemuda yang menjadi peserta perang ketupat juga berhadapan dalam dua kelompok. Sepuluh menghadap ke laut, 10 lagi ke darat. Aturan perang dipraktekkan oleh dukun darat. Ketupat dilempar olehnya ke punggung dukun laut. Lemparan balasan diarahkan ke punggung pula. Satu hal yang harus diingat, ketupat tidak boleh dilemparkan ke kepala . Setelah semua peserta perang mengerti, tiupan peluit dukun laut menandakan perang ketupat dimulai.

Perang Ketupat dimulai! Foto: visitbangkabelitung.com

Perang Mulai!
Dua puluh pemuda peserta perang langsung menghambur ke tengah. Mereka saling melemparkan ketupat ke arah lawan. Semua bersemangat melemparkan ketupat sekeras-kerasnya. Ketupat yang jatuh diperebutkan. Digunakan kembali sebagai amunisi. Keadaan kacau sampai dukun laut meniup peluitnya tanda usai perang dan mereka pun berjabat tangan. Perang biasanya diselenggarakan dalam dua babak. Di rangkaian perang berikut, pesertanya diganti.

Akhir Perang
Rangkaian upacara Perang Ketupat umumnya ditutup dengan Upacara Nganyot Perae , yaitu perahu mainan dari kayu yang dihanyutkan ke laut. Upacara itu dimaksudkan mengantar para makhluk halus pulang. Supaya mereka tidak mengganggu masyarakat Tempilang.

Pergeseran budaya
Kentalnya pengaruh dukun dan dominannya aspek animisme (kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus) dalam tradisi perang ketupat terjadi karena budaya ini merupakan warisan masyarakat asli Pulau Bangka yang belum beragama, atau sering disebut sebagai orang Lom. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan dimulainya tradisi ini. Namun, berdasarkan cerita rakyat, ketika Gunung Krakatu meletus pada tahun 1883, tradisi ini sudah ada.

Seiring dengan masuknya pengaruh Islam ke Bangka, tradisi tersebut pun mengalami beberapa perubahan cara dan pergeseran substansi. Meskipun tetap turut menonton perang ketupat, sebagian besar warga yang beragama Islam telah mengubah beberapa ritual menjadi bernuansa islami.

Perayaan yang dulunya difokuskan bagi roh-roh halus, kini sebagian ditujukan untuk mengenang arwah leluhur. Demikian pula dengan sesaji, diubah menjadi kenduri untuk dimakan bersama.

Pendapat

Menurut Sahanan Ali menjelaskan ”Yang dilakukan oleh masyarakat Tempilang saat ini bukan bertujuan untuk mengikuti ajaran agama para leluhur, melainkan hanya untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang masyarakat Tempilang pada waktu itu, karena tanpa adanya usaha kita melestarikan kebudayaan itu, maka kebudayaan di negara kita berangsur-angsur akan menghilang,” jelas Sahanan.

Dalam hal ini ada sebagian kecil masyarakat di pulau Bangka tidak menghendaki dilangsungkannya upacara adat ini namun tujuan upacara adat ini tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja, melainkan dari berbagai sisi. ”Padahal masyarakat dunia mengenal bangsa kita kaya akan budayanya. Itulah sebabnya kami setiap tahun melaksanakan upacara adat ini agar generasi mendatang juga dapat masih mengenal budaya nenek moyangnya,” tambah Sahanan saat acara penyambutan.

Ir. H. Syahrudin juga menyampaikan ”Dengan adanya kegiatan acara adat seperti ini merupakan hal yang baik di provinsi Bangka Belitung sebagai kalender tahunan Kabupaten dan Provinsi, yang bisa dilihat tahun lalu di televisi ditampilkannya Perang Ketupat dilaksanakan hanya di Tempilang dan tidak ada di tempat yang lain, hal ini menjadi erat hubungannya dengan kunjungan wisata sebagaimana diketahui bahwa pada tanggal 28 Desember 2009 yang lalu Menteri Kebudayaan dan Pariwisata telah mencanangkan visit Babel Archipelago 2010 yang menjadi tujuan destinasi wisata setelah pulau Bali dan pulau Lombok. Atas hal ini kita patut berbangga,” ucap Syahrudin.

”Selain itu pesta adat ini bisa menjadi ajang silaturahmi antara tokoh agama dan tokoh masyarakat yang pada waktu-waktu tertentu mungkin kita tidak bisa berkumpul bersama-sama disini. Dan untuk permintaan masyarakat Tempilang mengenai perbaikan jalan dari Pangkalpinang menuju Tempilang akan kami sampaikan kepada Gubernur supaya hal ini dapat menjadi perhatian,” ujarnya kepada masyarakat Tempilang.

5 komentar:

  1. riski purwani:
    ternyata pendekatan antropologi itu sangatlah dibutuhkan, supaya kita bisa menghargai sebuah budaya yang sudah ada sebelumnya, sehingga kita bisa berempati dengan masayarakat, dan kita bisa menghargai sekaligus melestarikan kebudayaan tersebut supaya tidak punah...

    BalasHapus
  2. Dwi hastuti pungkasari :
    benar sekali, pendekatan antropologi sangatlah penting,,,agar kita mampu menghargai kebudayaan daerah lain yang mungkin menurut kita kebudayaan itu aneh. Tapi dengan antropologi kita menjadi lebih berempati,,,

    BalasHapus
  3. Rani Ristiyanri

    Dengan pendekatan antropologi qita dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

    BalasHapus
  4. pendekatan antropologi membuat kita menjadi lebih memahami budaya lain, dan mengetahui alasan pola pikir suatu masyarakat, sehingga tidak merasa menjadi yang paling benar sendiri.

    BalasHapus
  5. berdasarkan segala apa yang ada baik budaya maupun adat istiadat tentunya kita tidak bisa terlepas dari yang namanya antropologi,ya memang untuk memahami segalanya komponen ini pasti akan selalu terkait... di manapun kita tinggal dan di mana saja kita hidup pasti akan mengalami proses sosialisasi dengan masyarakat.

    BalasHapus